Rabu, 03 Mei 2017

Dostoevsky; Manusia Baru---“Kita” (Aku-Kau-Dia) Masing-Masing Dalam Eksistensinya Sebagai Manusia

                                       ...manusia yang ada kini belum sepenuhnya manusia.
                                       Akan datang manusia baru, yang bahagia dan penuh
                                       kebanggaan. Ia akan membuat hidup dan mati tidak
                                       lagi berbeda, ia akan menjadi manusia baru. Ia yang
                                       menaklukan derita dan dan rasa takut akan menjadi
                                       Tuhan---Doestoevsky

                                       Demi kecintaanku kepada ummat manusia, aku
                                       menolak keharmonisan dan menolak menjadi bagian
                                       darinya”---Doestoevsky

A. Dostoevsky dalam Dunia Pemikiran Rusia
Dostoevsky lahir dengan nama Fyodor Mikhailovich Dostoevsky 30 Oktober 1821 di Moskow Rusia. Ayahnya tentara berjiwa aristokrat dan ibunya dari kalangan pengusaha kaya. Dostoevsky menolak pandangan yang mem-benda-kan manusia serta memperlihatkan pentingnya kembali ke nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi. Ia tidak pernah menulis naskah filsafat yang sistematis dan sampai akhir hayatnya ia hanya menulis karya sastra. Dostoevsky melihat bahwa cinta kasih, paham akan keterkaitan sesama manusia, kerendahan hati dan religiusitas masih tetap dapat berfungsi untuk memanusiakan manusia. Sebagai pemikir pemberontak (bountovshyik) banyak mendapat perlawaan di masanya tapi dikemudian hari terbukti kebenarannya. Kekhasan karyanya terletak pada bagaimana ia mengelolah permasalahan persoalan dunia sastrawi dengan menggunakan kacamata filsafat. Dalam filsafat Doestoevsky, kebebasan (svoboda), penderitaan (stradanie), dan cinta kasih (lyubov’) menempati posisi sentral. Kebebasan dalam pikiran/filsafat Dostoevsky berkaitan dengan problema pilihan (vybor) dan kesewenangan (svoevolie) yang bermanifestasi dalam bentuk usaha abadi manusia untuk terlepas dari kekangan norma-norma rasionalisme. Dostoevsky wafat 28 januari 1881 dengan meninggalkan karya-karya besar seperti Crime and punishment (1866), The Idiot (1886-1869), The possed atau The Demon (1871-1872) dan the broders karamazou (1878-1880) ia juga meninggalkan banyak cerita pendek seperti White Nigh dan A Weak Heart (1947-1849), my uncle dreams dan The Village of Stephanchikoua (1858), Iisulted and Injure dan House of the dead (1860) Notes from nderground (1864), The Gamber (1866), dan banyak lagi.
Dostoevsky hidup pada masa pemerintahan Tsar Nicholas 1 (1825-1855) dan Tsar Alexander 11 (1855-1881). Secara ekonomi, mayoritas dari mayrakatnya hidup “pas-pasan”, secara intelektual banyak yang buta huruf. Akibat kekecewaan timbul satu kelompok yang menjadi cikal bakal perlawanan terhadap pemerintah saat itu. Antara 1838 dan 1848 sekumpulan pemuda---seperti Belinsky, Turgenev, Bakunin, dan Herzen---mengkritik pemerintah dari gerakan yang disebut “Intelegensia”. Wacana mereka saat itu bagaimana menemukan bentuk “manusia baru” untuk bangsa Rusia. Maksudnya bagaimana sistem sosial yang ada, baik itu pemerintah maupun sistem kemasyarakatan, dapat membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Pertanyaan “seperti apa sebenarnya ke-rusia-an orang Rusia” tersebut kemudian menjadi pemikiran mereka.
Kerangka pemikiran yang menjadi latarbelakang masa itu adalah sosialisme dalam tiga bentuk. Pertama, sosialisme utopis, bahwa pemburuan sosial hanya dapat terjadi melalui perubahan-perubahan struktur pemerintahan. Kedua, sosialisme narodnik yang percaya bahwa pembaruan tidak dapat tercapai melalui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh negara dengan mengubah sistem birokrasi dan struktur pemerintahan. Mereka percaya bahwa pada dasarnya negara adalah vampire yang mengisap darah rakyat. Ide utama dari kaum narodnik adalah pemisahan atau pengambilan jarak terhadap kekuasaan pemerintah. Ketiga, sosialisme ilmiah atau sosialisme Marxis, saintisme sebagai perlawanan terhadap feodalisme pemerintahan dan reformasi. Ketiga aliran sosialisme tersebut menurut Dostoevsky memiliki kekurangan. Baginya, perubahan tidak dapat dicapai hanya memperbaiki struktur-struktur sosial atau mengubah pemerintahan menjadi pemerintahan rakyat tetapi harus ada perubahan pada individu.
Bentuk-bentuk sosialisme di Rusia dianggap sebagai sosialisme materilialistis, tidak pernah “menyelamatkan” rakyat Rusia. Sosialisme tersebut hanya akan memperlakukan manusia sebagai sel-sel belaka dalam suatu organisasi sosial. Doestoevsky---berseberangan dengan Nikolai Gavrilovich Chernyshevsky, seorang materialis dan utilitaris---memilih cara kembali ke asal Rusia itu sendiri, Rusia yang trdisional. Menulis karya sastra sebagai perlawanan terhadap pemerintah adalah cara yang memungkinkan untuk menghindari sensor pemerintah. Penggunaan karya sastra tersebut merupakan merupakan sebuah ekspresi kaum elit dan terpelajar untuk menggambarkan realitas yang tengah terjadi di Rusia. Pemikiran Dostoevsky memiliki pengaruh yang cukup besar pada para filsuf. Nama-nama seperti Nikolai Berdyaev dan Leo Shestov merupakan tokoh-tokoh yang dapat dikatakan sebagai Doestovskyan. Dalam pemikiran barat tidak kurang dari Nietzsche, Sartre, Rane Girard, Dan Levinas turut merasakan pengaruhnya.

B. Dilema Zaman Modern
Era modern berawal dari gerakan renaisans yang terjadi sekitar abad 16 di Italia. Pada masa itu orang mengagumi kebudayaan-kebudayaan, baik sastra maupun seni, yang berasal dari Yunani dan Romawi kuno, dimana kedirian dan kebertubuhan mendapat perhatian dalam karya-karya seni dan sastra zaman itu. Disinilah orang pertama-tama merasa “dilahirkan” kembali. Penekanan pada nalar atau rasio tampak dalam pandangan “bapak filsafat modern” Rene Deskartes (1596-1650)---penekanan terhadap kemampuan rasio manusia menjadi faktor penting dalam menentokan kebenaran. Pada manusia itu, “Aku” kini menjadi pusat pemikiran manusia dan paradigma berpikir yang berpusat pada kosmos ataupun Theos (telah) ditinggalkan. Diiringi kemajuan sains dan teknologi, manusia modern seolah memiliki takdir untuk mencapai dan menaklukkan semua hal. Dapat dikatakan bahwa zaman modern memiliki tiga jiwa di dalamnya; pertama, kesadaran diri sebagai subjek; kedua, sikap kritis terhadap prasangka-prasangka dari tradisi dan ketiga, progresivitas. Ketiga jiwa modernitas tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dan eksis secara utuh bersama---tritunggal
Manusia zaman modern sebenarnya tidak pernah menjadi diri sendiri, melainkan bagian dari suatu ide atau sistem–sistem tertentu. lebih jauh, ia hanya merupakan perangkat (tools) bagi suatu sistem agar dapat beroperasi. Berkembangnya sistem perekonomian kapitalis, mengakibatkan manusia memandang sesamanya sebagai “saingan”, runtuhnya kepercayaan religius tradisional, maka kehampaan akan makna telah menanti di depan mata. Pembicaraan manusia sebagai eksistensi yang utuh, baru mulai sekitar abad ke-19---Kierkegaard sebagai pionir melihat manusia sebagai subjek. “Demi kecintaanku kepada ummat manusia, aku menolak keharmonisan dan menolak menjadi bagian darinya”. Penderitaan, penindasan, ketidakadilan, itulah yang harus dicermati dan jangan membuang waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak memiliki rujukan pada kenyataan empiris.

1. Krisis Manusia Di Zaman Modern
Manusia merupakan mahluk banyak dimensi dalam kehidupannya. Ada kalanya dimensi tersebut terkesan paradoksal dan kontras. Ia sekaligus terbatas dan terbuka terhadap kenyataan, terkondisi dan bebas, individual dan sosial. Dimensi-dimensi tersebut memiliki kebutuhannya masing-masing. Manusia sebagai mahluk sosial berbeda kebutuhan dengan ia sebagai individu. Secara invidual, ia mungkin saja bebas. Namun ketika memasuki lingkup sosial ia, mau tidak mau, terbatasi atau membatasi kebebasannya. Ketegangan tersebut membuat manusia tidak pernah selesai dengan dirinya. Ia merupakan suatu keterbukaan dan ke-belum-an yang langgeng.

2. Kemuakan Terhadap Rasionalitas
Semangat zaman modern yang hadir melalui rasionalisme dan saintisme membawa pengaruh atas paradigma berpikir manusia. Cita-cita besar untuk menjadikan menusia sebagai mahluk otonom malah terjatuh pada peng-objek-an terhadap manusia itu sendiri.hal tersebut karna pola ilmu alam yang (berusaha) melihat segala sesuatu dengan berjarak atau objektif diterapkan pada manusia. Manusia kemudian memandang sesamanya sebagai objek semata. Hubungan antar mereka jadi bersifat kebendaan.
Dostoevsky menggambarkan bagaimana objektivikasi terhadap manusia dilakukan oleh kaum intelektual. Dengan rasionalisme membedakan antara manusia atas dan manusia bawah. Manusia atas adalah mereka yang telah “ tercerahkan” dan memiliki kesadaran yang tinggi. Mereka memiliki hak terhadap manusia-manusia bawah yang bodoh. Manusia bawah tidak mengerti apa-apa, sehingga mereka dapat dimanipulasi untuk suatu sistem-sistem sosial yang akan dilanggengkan. Mereka juga dapat menjadi kelinci percobaan untuk suatu eksperimen yang dilakukan.

C. Manusia Dan Cinta Kasih
Siapakah manusia dapat diketahui dari cara manusia mengetahui dan setidaknya terdapat dalam dua cara. Pertama pengetahuan objektif; mengandaikan adanya suatu jarak antara subjek dan objek, sang subjek tidak terlibat pada objek yang diamati, objek diteliti dan (jika perlu) dimanipulasi untuk mendapatkan suatu teori, pengetahuan macam ini berada dibidang sains yang meneliti benda-benda kongkret disekitar manusia. Kedua pengetahuan kontemplatif; tidak ada yang disebut sebagai objek---yang diamati melebur bersama---disini tidak ada yang dinamakan objektivitas dan tidak terjadi dualitas yang memisahkan mereka. Pengetahuan pertama dicapai melalui metode-metode rasional, sedang pada pengetahuan kedua yang dibutuhkan adalah suatu kontemplasi.
Untuk memahami manusia, ada baiknya jika dimulai dengan melihat atau berkontemplasi pada karakternya dalam kesehariannya. Kemenduniaan adalah struktur dasar dan faktisitas yang membuka pintu pemahaman akan “ada” secara eksistensial. Disini terdapat dua cara malihat manusia dalam kesehariannya. Pertama dengan memandang manusia secara Ontis. Dengan cara ini, manusia “dipahami” tidak hanya dekat kita, namun adalah kita sendiri. Kedua dengan melihatnya secara Ontologis dimana ia begitu jauh. Secara ontologis kita mulai (mencoba) melihat makna dari manusia itu sendiri. Melihat manusia sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil karena secara pra-ontologis manusia tidak asing bagi kita---kita mengetahui apa yang disebut dengan manusia, manusia adalah kita dan kita adalah dia, diri kita identik dengan apa yang disebut manusia. Dilihat lebih saksama, “manusia” tidak sepenuhnya tercakup dalam kediriannya bahkan makna dari keberadaannya lebih dari sekedar kedirian. Namun, untuk mengetahui manusia tersebut,orang harus melihat atau menjejaki kehadirannya dalam ke-samar-an yang terdapat pada hidup keseharian (ontis) sebelum kemudian merefleksikan secara lebih dalam.
Secara eksistensial, manusia dalam kemenduniaannya selalu berhadapan dengan berbagai kemungkinan untuk mewujudkan dirinya. Ia dapat menjadi “ini” atau “itu” tergantung pada apa yang diputuskan atau dipilih untuk dihidupinya. Eksistensi kemudian harus dipahami sebagai suatu cara mengada manusia, dengan berbagai kemungkinan yang dihadapinya. Pergulatan eksistensial tersebut hadir dalam kecemasan dan keprihatinan. Dalam kecemasan ia menemukan eksistensinya yang terlempar ke dunianya. Mereka disergap suatu keadaan yang “ mengharuskan dirinya” memilih berbagai kemungkinan cara mengada. Dostoevsky melihat bahwa keputusan untuk menentukan pilihan harus juga melihat orang lain. Artinya, pilihan tidak dapat bersifat egoistik melainkan altruistik.

1. Manusia Mencari Makna
Pada zaman modern, pemahaman akan manusia sebagai “ada” yang menentukan diri menjadi begitu dominan. Dengan pengandaian akan kebebasan mutlak, ia menentukan sendiri apa yang menjadi nilai bagi dirinya. Nilai-nilai lama, termasuk Tuhan dalam budaya dan tradisi, dipertanyakan atau bahkan ditinggalkan. Kondisi- kondisi kongkret menjadi landasan bagi kritik terhadap tradisi yang ada. Manusia dizaman modern memsng perlu dengsn smbiguitas. Disatu sisi, ia ingin menjadi otentik dengan menjadi penentu nilai-nilai bagi hidupnya. Namun, disisi yang lain, ia tidak benar-benar mampu untuk hidup dalam ke-sendiri-annya. Terdapat hal-hal lain yang ikut mempengaruhi nilai tersebut. Hal-hal seperti peran orang lain dan juga penghayatan akan Tuhan ikut memberi sumbangan bagi terciptanya nilai-nilai. Keinginan manusian menjadi “tuhan” digambarkan Doestoevsky; hidup adalah derita, hidup adalah ketakutan dan manusia tidak bahagia. Yang tinggal adalah derita dan rasa takut. Kini manusia hidup karena ia mencintai derita dan rasa takut. Begitulah keadaanya. Hidup diberikan sebagi ganti dari derita dan takut ...,manusia yang ada kini belum sepenuhnya manusia. Akan datang manusia baru, yang bahagia dan penuh kebanggaan. Ia akan membuat hidup dan mati tidak lagi berbeda, ia akan menjadi manusia baru. Ia yang menaklukan derita dan rasa takut akan menjadi Tuhan. Pencarian makna tidak sepenuhnya ditentukan melalui diri yang terisolasi, melainkan dengan membuka diri terhadap apa yang ada di dunia dan kehidupan. Makna tidak terdapat di dalam diri melainkan tercipta di dalam diri melalui hal-hal yang berasal dari luar.

2. Perihal Orang Lain
Peranan orang lain memberikan makna dan menentukan tindakan seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari lewat perjumpaan dengan seseorang; suatu sentuhan, senyuman, atau bahkan sapaan dapat membuat seseorang merasa bahwa hidupnya lebih baik. Orang lain lahir sebagai sosok yang menentukan pemaknaan akan hidup. Tidak ada manusia yang menemukan eksistensinya sendiri ia selalu berhubungan dengan orang lain untuk menemukan maknanya. Dostoevsky---Heidegger memandang orang lain sebagai “ada” yang dapat membuat manusia menjadi tidak otentik dan Sartre, orang lain dipandang sebagai neraka---melihat bahwa melalui oranglain manusia menyadari ia bukan eksistensi yang harus mengisolasi dalam kesendirian yang semu. Ia ada bersama orang lain dalam hidupnya , dan dalam kebersamaan itu manusia saling memakai keberadaan masing-masing, kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri karena manusia meng- “ada” di dunia bersama dengan yang lain.

3. Keterkaitan Antar Manusia
Pemahaman manusia sebagai “aku” pada zaman modern, seperti zaman Aufklarung, yang terlalu menekankan otonomi dan kebebasan manusia membuat “aku” dipahami sebagai subjek. Pemahaman akan diri sebagai supersubjek, kemudian meng-objek-kan subjek-subjek lain, yang sebenarnya merupakan manusia yang sama dengan mereka. Membagi manusia menjadi dua jenis, yaitu; manusia atas dan manusia bawah. Manusia atas adalah dirinya, sang supersubjek dan orang lain hanyalah “benda-benda” belaka. Mereka mempunyai hak penuh terhadap manusia bawah tersebut, karena manusia bawah tidak berpengetahuan dan tidak menyadari apa-apa. Bagi Dostovsky, memilah manusia menjadi manusia atas dan manusia bawah merupakan hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Siapa yang memberi hak untuk menentukan diri sebagai manusia atas dan menganggap yang lain sebagai manusia bawah? Manusia itu sama dan ke-sama-an subjek dengan subjek yang lain dapat dilihat dari relasi manusia dengan “yang lain” dengan cara meng-“ada”-nya. Dengan melihat ke-sama-an tersebut, maka subjek-subjek yang lain harus dipandang sebagai subjek yang memiliki makna eksistensial yang sama. Dostoevsky memahami manusia sebagai ikatan persaudaraan. tidak sebagai sesuatu yang berdiri sendiri tetapi selalu terkait dengan orang lain. Dengan demikian, otonomi manusia tidak mungkin lagi dipahami sebagai otonomi mutlak yang menutupi diri dan tidak saling berelasi dalam suatu intimitas. Inilah yang membuat mengapa “Kita” menjadi penting karena manusia selalu hidup dalam “Kita” dan tidak dapat lepas darinya.

D. Cinta Kasih Untuk Mengada
Cinta kasih hadir sebagai pengejawantahan dari “Sang Baik” pada manusia. Ia mengarahkan manusia untuk bertindak sesuai dengannya, dan memampukan manusia untuk hidup dalam kondisi penuh penderitaan sekalipun. “Dengan cinta kasih manusia dapat hidup, bahkan jika tampa kebahagiaan; dalam deritapun hidup terasa manis...” Cinta kasih merupakan dasar untuk mengada, bahkan tanpa cinta kasih maka tidak ada yang disebut akal. Cinta kasih yang digagas Doestovsky adalah sebuah tindakan nyata untuk membela manusia, suatu acuan dimana manusia dipandang secara sederajat dan diberlakukan secara adil dalam kehidupannya. Manusia dalam ke-mendunia-annya memilih suatu tujuan sendiri yang membuatnya menjadi berkeutamaan, dicapai dan dimungkinkan karena adanya cinta kasih. Dengan cinta kasih, kepalsuan yang ada dilucuti. Ia hadir untuk membebaskan manusia dari kekangan ilusi egoistik, tidak individual melainkan menyeluruh.

Alcapone, Ramadhan 1437H
Henry S.Subari; Doestoevsky---Menggugat Manusia Modern, Penerbit Kanisius Yokyakarta, 2012

Kamis, 20 Oktober 2016

Pengantar Filsafat

Materi : Pengantar Filsafat

Dosen : Drs. Arwan Nurdin
Pokok Bahasan: Mengenal Filsafat 
Sub Pokok Bahasan: 1.Pengantar Filsafat 2.Manusia sebagai Filsuf


MENGENAL FILSAFAT 


I. Pengantar Filsafat

Manusia pada dasarnya adalah filsuf atau filosof atau makhluk yang berfilsafat. Namun tidak jarang kita mendapatkan pertanyaan seperti "ɑ̤̥̈̊ρ̥̥ɑ̤̥̈̊ Їτυ filsafat?" , "untuk ɑ̤̥̈̊ρ̥̥ɑ̤̥̈̊ kita berfilsafat?", "bagaimanakah sesungguhnya filsafat Їτυ?", dan "kenapa kita harus berfilsafat?". Ketika pertanyaan-pertanyaan diatas Їτυ muncul di kepala kita, maka sebenarnya pada saat itulah kita sedang berfilsafat. Filsafat Їτυ adalah bertanya. Dalam beberapa buku tentang filsfat juga banyak tertulis seperti "filsafat tidak mempersoalkan pertanyaan, tetapi mempertanyakan jawaban. Sementara Kata "filsafat" Їτυ sendiri  berasal dari Yunani "philosophia". Terdiri atas dua suku kata "phylo" yang artinya "Cinta" dan " Sophia" yang artinya "kebijaksanaan" . Jadi manusia yang berfilsafat adalah manusia yang "cinta kebijaksanaan". Manusia yang bijaksana adalah manusia yang selalu menggunakan akal budinya. Cinta sendiri adalah dasar dari pada semua tindakan dan perlakuan filsafat, manusia yang selalu menggunakan cinta adalah manusia yang mengedepankan kebenaran. Di dalam segala sesuatu yg didasari dengan Cinta, maka itu puncak kebenaran dan kenikmatan hidup. Segala macam pengertian yang melekat pada filsafat, dari berbagai macam sudut pandang yang berbeda-beda menjadikan bukti tersendiri tentang sisi keseriusan manusia mengkaji filsafat. Bahwa filsafat Їτυ sangatlah layak dan baik untuk dipelajari. Karena pada dasarnya semua Filsuf akan sebantiasa mencintai kebijaksanaan.

Fitrah manusia adalah dengan diberikannya akal dari Tuhan, yng kita gunakan untuk berpikir. Aktivitas berpikir adalah hal yang paling utama di dalam filsfat dan salah satu hal memicu kita berpikir adalah dengan bertanya. Suatu aktivitas yg membutuhkan dasar "cinta kebijaksanaan" untuk melakukannya, kesiapan untuk menerima keraguan dan mepertanyakan Tuhan, Alam, dan Manusia, termasuk diri kita sendiri.


II. MANUSIA SEBAGAI FILSUF

Manusia ketika di pandang dari sudut unsurnya terdiri atas dua : yang pertama adalah Fisik dan kedua adalah Fisis. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah "animal rasional" atau binatang yang berpikir, sesuatu yang ℳungkin kita terima jika merujuk pada unsur fisik manusia memang tdak ɑ̤̈̊ðɑ̤̈̊ bedanya dengan binatang. Tapi selain dari unsur fisik ada unsur fisisnya yang kita sering sebut "jiwa", "akal", atau "idea". Yang menjadikan manusia bersifat dinamis didalam menjalani kehidupannya, menjadikan manusia tidak pernah puas akan ɑ̤̥̈̊ρ̥̥ɑ̤̥̈̊ yang telah diraihnya. Manusia yang berada pada tahap fisik, ɑ̤̥̈̊ρ̥̥ɑ̤̥̈̊ yang kita sebut "kepuasan" Їτυ sangat mudah di raih, berbeda ketika berada pada tahap fisis maka "kepuasan " Їτυ sendiri sangat sulit untuk diraih.

Filsafat lebih banyak bekerja pada wilayah fisis atau metafisik, sehingga tdak pernah ɑ̤̈̊ðɑ̤̈̊ filsuf yang pikirannya goyah oleh persoalan fisik. Meskipun filsafat tetap mengakui adanya bentuk dan fisik manusia. Bagi seorang filsuf , kebenaran sejati adalah hal mutlak untuk didapatkan. 

Manusia pada hakikatnya adalah filsuf karna semuanya membutuhkan kebenaran sejati. Bukan kebenaran yang terbatas hanya pada wilayah fisik semata tapi sampai kepada dialektika. Seperti apa yang digambarkan Jujun S. Surya Sumantri tentang marinir sebagai "filsafat" dan pulau adalah "kebenaran atau ilmu", marinir tidak berhenti ketika mendapatkan pulau Їτυ, tetapi melanjutkan perjalanan menuju pulau-pulau lain. Seperti itulah perjalanan filsafat yang tidak berhenti pada satu kebenaran krna masih ɑ̤̈̊ðɑ̤̈̊ "Kebenaran  Sejati". 

Dalam perdebatan hari ini sering kita temukan perdebatan tentang filsafat yang terikat dengan "metoda", namun menurut pemikiran radikal Foucault filsafat bahkan bisa berjalan tanpa sabuk pengaman atau "metoda". Hal yang sepetti tanpa terikat bukan sebuah kemustahilan di filsafat, bahkan hanya filsafat yang mampu menjangkau Їτυ. Semua Їτυ karna filsafat selalu mnyandarkan diri pada "Cinta". Maka manusia harus berani menggunakan anugrah Tuhan yaitu "akal" , dan siap memakai "Akal Tuhan" krna hanya dengan jalan Їτυ manusia bisa "Menjadi Tuhan". Membawa kita dalam suatu konsekuensi hidup menuju "Kebenaran Sejati". Dengan begitu maka semua yang kita lakukan adalah "Perlakuan Tuhan", tidak memenjarakan Tuhan didalam pikiran kita krna itulah yang dimaksud Nietzche dengan "membatasi Tuhan" lalu dengan keluarnya Tuhan kedunia maka disitulah "Tuhan Mati". Begitulah seharusnya manusia dalam berfilsafat, sehingga  kita  tak terpenjara dalam "Dunia Kehancuran". 

III. PENUTUP

Sebagai makhluk yang dituntut untuk berada pada jalan yang lurus, maka layaklah kita sebagai manusia senantiasa selalu meluruskan ɑ̤̥̈̊ρ̥̥ɑ̤̥̈̊ yang para pendahulu kita sampaikan. Senantiasa agar kita tidak terjebak dalam ruang justifikasi, ideologis, dan selalu mengedepankan ego berjamaah. Kata mendasar pada tulisan ini adalah mari kita berpikir dan tak pernah jenuh "Mencari-Bersama-Menjadi"  Kebenaran Sejati karena kebenaran sejati adalah "Cinta".

@Ruang Tuhan





Contoh Pemberian Tugas


Tugas Makalah Mata Kuliah "Pengantar Filsafat"
Semester Genap Tahun Ajaran 2008/ 2009
I. Tugas:
Buatlah makalah secara perosrangan dengan memilih salah satu cabang filsafat, seperti epistemolog, metafisika, estetika, dsb, sebagai pokok bahasannya.
II. Keterangan:
1. Tugas diketik rapi:
a. pada kertas ukuran A4
b. menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12
c. menggunakan spasi 1,5
dan dijilid.
2. Tugas makalah/ paper disusun dengan menggunakan sistematika penulisan:
Bab I: Pendahuluan (terdiri dari latar belakang masalah dan permasalahan)
Bab II: Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka
3. Tugas dikumpulkan dalam bentuk cetak dan file. Dalam bentuk file, tugas makalah dikirimkan ke indra.tjahyadi@yahoo.co.id. Tugas, baik dalam bentuk cetak ataupun file, paling lambat dikumpulkan pada saat Ujian Tengah Semester (UTS).

#Di copy dari Ihwal blog / ayo kuliah

PERMINTAAN

Yang punya postingan pengantar filsafat tolong dibagi